Dalam dunia industri dan ketenagakerjaan, topik mengenai keselamatan dan kecelakaan kerja sudah menjadi hal yang sering Anda dengar. Karena berdasarkan data pada tahun 2018 saja, jumlah kecelakaan kerja mencapai 123.000 kasus, menurut Direktur Pengawasan Norma K3 Kemenaker, Herman Prakoso Hidayat.
Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban manusia atau harta benda (Permenaker No 03/MEN/1998). Menurut sumber yang selainnya, defisinisi kecelakaan kerja adalah kejadian yang berhubungan dengan pekerjaan yang dapat menyebabkan cidera atau kesakitan (tergantung dari keparahannya) kejadian kematian atau kejadian yang dapat menyebabkan kematian (OHSAS, 18001:2007)
Salah satu cerita memilukan kecelakan kerja terjadi pada tahun 2019 di daerah Probolinggo, Jawa Timur. Korban bernama Heru Lintang Cahyono, alumni MAN Pajarakan yang berusia 23 tahun warga Dusun Pasar, Desa Pajurangan, Kabupaten Probolinggo mengalami kecelakaan kerja dengan tangan kanan hinga dada terjepit mesin pengeleman.
Diketahui bahwa korban bekerja di PT Mandiri Jaya Succesindo di Desa Pajurangan Gending, Kabupaten Probolinggo. Kecelakaan ini terjadi pukul 05.30 WIB Sabtu (6/7/2019). Saat itu korban yang akrab disapa dengan nama Heru tersebut masuk shift malam sebab temannya sudah menggantikannya di shift siang.
Rekan kerja korban, Dani Wahyu Saputra, mengatakan saat kejadian korban sedang bekerja di bagian mesin pengepresan dan pengeleman. Menurut kesaksian Dani, korban tidak sengaja menginjak alas mesin yang akhirnya membawa tubuh korban ke arah belakang. Seketika tubuh korban pun lantas terjepit ke mesin pengeleman.
“Dia tak sengaja menginjak alas mesin. Alasnya itu bisa bergerak ke belakang, ada rodanya. Itu terinjak, akhirnya terpeleset. Tangan kanan korban pun masuk mesin dan dadanya,” tutur Dani Wahyu Saputra rekan korban asal Dringu. Mengetahui Heru terjepit di mesin pengeleman, sejumlah karyawan berupaya mengeluarkan korban dari mesin. Saat dilakukan pertolongan Heru masih dalam kondisi sadar dan hidup.
Saat dievakuasi kondisi korban luka parah pada bagian tangan kanan hingga bagian dada. Korban di evakuasi, langsung dibawa ke RS Wonolangan, Dringu guna mendapatkan pertolongan medis. Namun nasib tak berpihak pada korban, karena saat sudah tiba di RS nyawanya sudah tidak bisa tertolong.
Memang ada faktor human error di kasus tersebut, tapi di sisi lain kecelakaan itu juga karena kelalaian perusahaan yang tidak mengikuti aturan pemerintah mengenai standar keselamatan kerja karyawan. Jelas ini membuat keluarga korban shock dan diselimuti suasana duka di Dusun Pasar, Desa Pajurangan.
Keselamatan kerja menjadi hal yang krusial karena menyangkut kelangsungan hidup karyawan maupun perkembangan perusahaan. Karenanya pemerintah sampai mengaturnya secara khusus dalam UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Dijelaskan di dalamnya juga termasuk kewajiban setiap perusahaan untuk menerapkan K3 sebagai jaminan bagi keselamatan kerja karyawannya.
Kerugian tidak hanya aspek materil saja, namun juga immaterial. Bagi korban sendiri, ketika mengalami kecelakaan kerja hingga memiliki kecacatan fisik, maka kedepannya akan sulit diterima untuk bekerja di perusahaan. Apalagi jika si korban masih dalam usia produktif, kerugiannya akan semakin banyak.
Anda bisa menghitung, rata-rata gaji perbulan bisa mencapai Rp 4.000.000,- dengan asumsi pekerja normal dan fisiknya mumpuni untuk optimal dalam bekerja. Jika dia mengalami kecelakaan kerja di usia 30 tahun, sedangkan usia produktif di Indonesia bisa sampai 55 tahun, maka selama 25 tahun kedepan ia akan mengalami kesulitan untuk produktif secara optimal.
Anggap saja ia masih bisa bekerja namun dengan gaji dibawah yang seharusnya (Rp 1.000.000,-), dengan kata lain, ia mengalami kerugian material mencapai Rp 1.000.000,- / bulan. Jika dikalikan 25 tahun kedepan, maka Rp 1.000.000,- x 12 bulan X 25 tahun = Rp 301.000.000,- . Ini baru kerugian bagi si korban dan hanya pada aspek materil.
Belum lagi aspek immaterial, tekanan batin bagi si keluarga karena ketidaksiapan dengan musibah tersebut. Apalagi jika yang mengalami kecelakaan kerja adalah kepala keluarga. Beban hidup semakin berat namun keadaan fisik tidak mendukung untuk semakin produktif akan memicu konflik-konflik yang selainnya.
Belum lagi cibiran tetangga atau dipandang sebelah mata oleh rekan kerjanya maupun tetangga sekitar akan semakin membuatnya tidak nyaman bekerja, merasa tidak diterima baik, dan berpotensi menimbulkan stres. Hal ini tentu saja bisa semakin menurunkan produktifitas kerjanya.
Termasuk pula kerugian bagi perusahaan maupun karyawan yang selainnya. Karyawan lainnya akan merasa takut saat harus bekerja di bagian yang sama dengan tempat kejadian kecelakaan sebelumnya. Standar kerja yang tidak jelas dan minimnya jaminan keselamatan kerja menjadi pemicu utama yang membuat karyawan enggan bekerja secara optimal. Mereka takut kejadian serupa akan bisa menimpanya yang bisa berdampak buruk bagi dirinya dan keluarga di masa depan.
Hal itu akan mengakibatkan penurunan motivasi kerja karyawan yang berdampak pada penurunan produktfitas kerjanya. Hasil kerja yang tidak maksimal akan membuat target perusahaan tidak tercapai. Proses operasional perusahaan tidak bisa lancar dan berpotensi perusahaan mengalami kerugian atas penurunan produktiftas karyawan.
Anda pun bisa membayangkan bagaimana mengerikannya jika suatu hari saat sedang bekerja, kemudian di depan mata sendiri melihat kecelakaan karyawan. Pada saat itu pasti pikiran Anda langsung tersita, tak fokus lagi untuk bekerja, selain karena terbayang oleh tragedi tersebut, Anda pun pasti akan direpotkan oleh berbagai masalah yang muncul berikutnya, mulai dari perawatan RS, pengurusan asuransi, pemberhentian aktivitas kerja, komunikasi dengan pihak berwajib hingga media.
Tak hanya itu, nama perusahaan pun akan menjadi tercoreng akibat kelalaian dari tidak mengikuti aturan keselamatan kerja. Berpotensi mengalami penurunan kepercayaan klien ataupun investor dan pada akhirnya kedepan perusahaan akan sulit merekrut karyawan. Semua perencanaan bisnis yang Anda buat dan persiapkan dengan detail, bisa saja menjadi berantakan dalam sekejap saja karena masalah ini.
Belum lagi, ada denda yang harus dibayar oleh perusahaan. Memang untuk penerapan sanksi denda kecelakaan kerja selama ini mengacu pada UU nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Dalam UU tersebut denda harus dibayar RP 100.000 atau kurungan penjara 3 bulan. Sebab undang-undang ini dibuat untuk pencegahan/langkah preventif.
Namun, menurut Direktur Pengawasan Norma K3 Kemenaker Herman Prakoso Hidayat, nantinya acuan denda K3 akan diubah seiring revisi UU no 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan yang sanksinya pidana sekitar 2-4 tahun dangan denda mencapai Rp 200-400 juta. Apakah Anda rela profit perusahaan berkurang sebesar itu hanya karena kelalaian yang sebenarnya bisa dicegah?
Untuk itu, sebagai pengelola perusahaan, sudah saatnya menyadari bahwa program keselamatan kerja sama strategisnya dengan strategi pemasaran ke para costumer. Dengan adanya sertifikasi K3, maka akan berdampak postif bagi banyak pihak. Hal ini akan meningkatkan rasa aman karyawan sehingga produktifitas mereka pun bisa meningkat. Tentu saja jika karyawan semakin produktif, perusahaan juga yang akan mendapatkan keuntungan.
Memang terdengar sederhana, tapi nyatanya masih banyak manajemen perusahaan yang beralasan bahwa hal itu menuntut terlalu banyak biaya dan waktu. Karena umumnya pelatihan tidak bisa selesai dalam sekali tatap muka, perlu dilakukan secara berkala. Supaya materi bisa lebih mendalam dan juga membuat para karyawan terus mengingatnya. Apalagi untuk perusahaan manufaktur yang karyawannya mencapai ribuan dan mayoritas latar belakang pendidikan menengah ke bawah.
Berbagai kenyataan itu yang akhirnya semakin membuat perusahaan enggan untuk menyelenggarakan program pelatihan keselamatan kerja. Karena jika menggunakan metode tradisional, pelatihan di ruang kelas, jelas akan menghabiskan biaya yang besar. Belum termasuk juga waktu yang harus dikorbankan karena selama proses pelatihan para karyawan tidak bekerja. Itu pun akan bertambah lama jika proses assesment hasil pelatihan dilakukan manual satu persatu.
Beruntungnya saat ini ada alternatif solusi yang bisa membuatnya jauh lebih mudah, yakni menggunakan e-learning. Karena karyawan bisa menjalani pelatihan secara berkala, dengan waktu yang fleksibel. Mereka hanya diberikan tenggat waktu kapan pelatihan itu harus diselesaikan. Sehingga tidak harus mengumpulkan mereka semua dalam satu waktu dan juga tidak harus mengambil waktu kerja mereka sepenuhnya.
Kelebihan lainnya adalah E-learning memiliki modul ujian dan quiz, sehingga pemahaman peserta dapat dievaluasi secara langsung. Selain itu juga dilengkapi dengan Modul Analytic yang memudahkan manajemen perusahaan untuk mendeteksi kemajuan tiap karyawan, siapa saja yang sudah memahaminya atau belum serta dapat melihat karyawan mana saja yang sudah lulus ujian.
Biasanya hal itu akan terkendala lagi dengan persoalan teknis karena perusahaan perlu menempatkan orang khusus IT untuk menangani hardware, software dan maintenance ketika diperlukan. Tapi kabar baiknya adalah semua itu bisa menjadi lebih praktis dengan Katalis.app. Karena Katalis.app menyediakan teknologi cloud untuk sistem e-learning tersebut, sehingga manajemen perusahaan tak perlu memusingkan persoalan hardware, software ataupun SDM khusus IT.
Dengan Katalis.app, perusahaan hanya perlu memikirkan untuk materi pelatihannya dan menguploadnya ke Katalis.app. Selanjutnya materi itu bisa langsung diakses oleh setiap karyawan perusahaan melalui smartphone pribadi mereka, sehingga tak perlu ada anggaran keluar untuk penyediaan komputer ataupun SDM khusus IT.
Sehingga E-learning untuk keselamatan kerja menjadi sebuah langkah investasi yang sangat menjanjikan bagi setiap perusahaan. Karena dengan sekali membayar, perusahaan bisa menggunakan hingga seterusnya. Para karyawan akan merasa lebih aman ketika bekerja, merasa lebih dihargai oleh perusahaan dan pada akhirnya lebih semangat untuk menjalankan tugasnya. Disamping perusahaan tentunya juga terhindar dari sanksi pemerintah dan kerugian lainnya akibat kecelakaan kerja, yang seharusnya tak perlu terjadi.